• GEDUNG GRANADI Lantai 12
    JL. H. R. Rasuna Said Kav. 8-9 Kuningan - Jakarta Selatan
  • (021) 2523770
  • [email protected]

Sejarah Pendirian

Sejarah Pendirian

1. Pak Harto Berinisiatif Membangun Masjid

     A. Blusukan dan Inisiatif Membangun Masjid

Dalam perjalanan incognito “blusukan” yang dilakukan tahun 1970 oleh Pak Harto bersama rombongan memasuki kota kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dijumpainya masyarakat sedang bergotong royong membangun masjid. Pak Harto meminta kendaraan yang ditumpanginya untuk berhenti. Beliau memutuskan untuk menemui warga yang tengah bahu membahu mengangkut batu bata, kayu-kayu, dan bahan bangunan lainnya. Betapa terkejutnya warga Klaten saat itu demi mengetahui yang datang adalah presiden mereka. Warga seketika menyambut Pak Harto dengan sukacita.

Warga Klaten menyampaikan betapa sulitnya mengumpulkan dana untuk membangun masjid. Butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan biaya pembangunan masjid. Memang, saat itu kehidupan sedang susah, politik belum stabil seusai pengkhianatan PKI melalui Gerakan 30 September 1965, ekonomi juga belum pulih. Namun tekad warga Klaten untuk memiliki tempat beribadah yang layak tak pernah surut. Mereka bergotong royong membangun masjid yang diidamkannya. Dalam kesempatan itu mereka meminta kepada Presiden untuk memberi perhatian terhadap pembangunan masjid ini.

Tentu saja, sebagai seorang muslim yang sejak kecil mendapatkan pendidkan keagamaan yang kuat Pak Harto sangat memahami arti keberadaan masjid, surau,bahkan musala sebagai tempat ibadah. Tak heran, seperti termuat dalam buku Incognito Pak Harto – Perjalanan Diam-diam Seorang Presiden Menemui Rakyatnya (2013), usai singgah dilokasi masjid tersebut Pak Harto, memerintahkan Gubernur Jawa Tengah Moenadi untuk memberikan bantuan agar pembangunan masjid dapat segera diselesaikan. Tercatat, masjid yang berlokasi di jalan Pemuda berhasil diselesaikan dan diresmikan pada tahun 1971. Sampai kini masih tegak berdiri dan dikenal dengan nama Masjid Raya Klaten.

Kisah diatas mengungkapkan bahwa Pak Harto telah memiliki perhatian yang khusus kepada pembangunan masjid sejak awal masa sebagai Presiden RI yang kedua. Perhatian yang tak pernah pudar, bahkan semakin menguat pada masa-masa selanjutnya. Dalam berbagai kesempatan Pak Harto mengungkapkan dirinya merasa prihatin demi menyaksikan rakyatnya yang bersemangat mendirikan masjid tetapi kekurangan biaya pembangunan. Mereka terpaksa meminta sumbangan dari pinggir jalan, berharap kemurahan hati dari pengendara mobil dan motor yang melintas tak jauh dari lokasi pembangunan masjid.

Bagaimana pun, kepedulian Pak Harto sebagai kepala negara berpenduduk mayoritas beragama Islam sangatlah beralasan. Menurut sensus penduduk tahun 1980, jumlah penduduk Indonesia 147 juta jiwa, lebih dari 90% menganut agama Islam. Pada masa itu, jumlah tempat ibadah sangatlah terbatas. Padahal, ketika negeri ini tumbuh dan berkembang pada awal abad 21, jumlah umat Islam akan mencapai 200 juta jiwa dan itu berarti memerlukan jumlah tempat ibadah yang lebih banyak lagi.

Pada kesempatan lain, Pak Harto memutuskan untuk melanjutkan pembangunan masjid Istiqlal di Jakarta yang telah dirintis oleh Presiden Soekarno sejak 7 Desember 1954. Masjid yang dirancang oleh F. Silaban ini memulai pembangunan pada tahun 1962 ditargetkan menjadi masjid termegah di Asia Tenggara. Situasi politik dan ekonomi sebelum dan sesudah pengkhianatan G30S/PKI membuat pembangunan masjid kebanggaan nasional itu mengalami penundaan.

Atas inisiatif Pak Harto, yang tampil sebagai pemimpin baru Indonesia, pembangunannya dilanjutkan kembali. Pada tanggal 22 Februari 1978 Presiden Soeharto meresmikan Masjid Istiqlal. Dalam kesempatan itu, seperti termuat dalam buku Jejak Langkah Pak Harto, jilid 3 (1991), Pak Harto berpidato bahwa dalam masyarakat berdasarkan Pancasila, pembangunan kehidupan beragama adalah mutlak. Karena itu pemerintah sangat memperhatikan pembangunan lembaga-lembaga pendidikan agama, seperti madrasah, pesantren, rumah-rumah ibadah seperti masjid, musala, dan lain-lain. Ia juga mengharapkan agar Masjid Istiqlal yang telah dijadikan masjid nasional itu dapat menjadi arena memperdalam taqwa kepada Allah, mempertinggi akhlak manusia. Masih menurut Pak Harto, masjid Istiqlal hendaknya memancarkan Nur Islam di bumi Indonesia. Pak Harto pun menekankan “Jadikanlah masjid itu tempat mengolah pendidikan dakwah yang baik, tempat kegiatan sosial yang baik”.

     B. Pak Harto dan Kehidupan Umat Beragama

Sesungguhnya, mendirikan masjid hanyalah satu dari sejumlah inisiatif yang dikembangkan Pak Harto sebagai Presiden Republik Indonesia dalam rangka peningkatan kehidupan umat Islam. Begitu Pak Harto resmi menjadi Presiden kedua Republik Indonesia pada tahun 1968, ia memberi ruang yang luas bagi penyelenggaraan kegiatan keislaman. Pak Harto menggelar peringatan hari-hari besar Islam di Istana Negara dan selalu menyempatkan hadir dalam peristiwa-peristiwa tersebut Pak Harto juga mendukung digelarkannya Musabaqah Tilawati Quran (MTQ) secara nasional yang untuk pertama kalinya dilangsungkan di Makassar pada tahun 1968. Dalam sebuah kesempatan menghadiri pembukaan MTQ ke-10 yang digelar di Stadion Klabat, Manado pada tahun 1977 Pak Harto menyampaikan bahwa “Alquran tidaklah cukup hanya dimusabaqohkan bacaannya, perlu dilakukan usaha-usaha ilmiah untuk mengkajinya dalam rangka untuk mengamalkannya”.

Masih pada tahun 1968, Pak Harto menyampaikan pemikirannya tentang peran dan manfaat zakat dalam menangani kesejahteraan sosial bangsa. Dalam peringatan Isra Mikraj di Istana Negara pada 26 Oktober 1968 Pak Harto menyatakan, banyak ajaran Islam mengenai pembangunan masyarakat yang jika kita amalkan sebaik-baiknya, dikoordinasikan, dan diarahkan setepat-tepatnya, maka akan menjadi usaha yang sangat berharga, seperti zakat misalnya. Bahkan Pak Harto pun menyediakan dirinya bertindak sebagai amil, yang bekerja mengkoordinasikan pengumpulan zakat tersebut. Pemikiran itu diwujudkan Pak Harto sebulan kemudian, dengan menerbitkan Pengumuman Presiden RI No. 1 Tahun 1968 yang memberi informasi bahwa masyarakat dapat mengirimkan zakat, derma, dan sedekahnya melalui Presiden Soeharto. Zakat yang berhasil dikumpulkan itu kemudian disalurkan kepada yang berhak sesuai syariat. Aktivitas ini kelak melahirkan lembaga independen yang dikenal sebagai Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh (BAZIS) pada tahun itu juga.

Pada tahun 1975 Pak Harto memprakarsai terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini bermula pada konferensi nasional ulama yang digelar di Istana Negara pada 21 Juli 1975. Dalam sambutannya Pak Harto menyatakan bahwa MUI sebagai lembaga independen yang mewadahi para ulama, zuama dan cendikiawan Islam tidak perlu bergerak dibidang politik, karena wadah itu cukup tersedia berupa dua partai politik dan satu golongan karya. Ia mengharapkan agar Majelis Ulama Indonesia dapat dan perlu memainkan peranan yang besar dalam menggerakkan masyarakat untuk pembangunan. Akan tetapi Pak Harto mengingatkan bahwa usaha itu tidak perlu dengan mendirikan madrasah, masjid dan rumah sakit sendiri, sebab kegiatan ini pun telah ditampung oleh organisasi yang bergerak dalam bidang keagamaan dan sosial. Pak Harto meyakinkan para ulama yang hadir, “Saya katakan dalam kesempatan ini bahwa untuk meningkatkan keserasian dan toleransi beragama, dibutuhkan badan musyawarah agama sebagai satu forum dimana dapat diperbincangakan hal-hal yang menyangkut kepentingan kelompok-kelompok agama”.

Pada masa berikutnya, Pak Harto memfasilitasi berbagai aktivitas umat Islam lainnya, diantaranya mendorong dibentuknya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tahun 1990, serta mendirikan Bank Muamalat pada tahun 1991 sebagai bank berbasis syariah yang pertama di Indonesia. Kelak ICMI memainkan peran penting dalam proses reformasi politik di Indonesia pada tahun 1998, sedangkan Bank Muamalat menjadi pembuka gerbang bagi berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah serta diterapkannya prinsip-prinsip dalam berbagai aktivitas perekonomian Indonesia.

2. YAMP dan Falsafah Sapu Lidi

“Saya ini presiden, saya ini umat Islam, dan saya tahu umat Islam Indonesia tidak mampu membangun masjid yang cukup untuk beribadah. Sebagai seorang muslim yang kebetulan menjadi presiden, tidak ada salahnya apabila saya mengajak lingkungan saya bersedekah untuk membangun masjid” (Pak Harto kepada Sulastomo dalam buku Pak Harto the Untold Stories)

     A. Inspirasi dari Sapu Lidi

Pemahaman sebagai seorang muslim tentang keutamaan membangun masjid, serta aspirasi rakyatnya maupun fenomena yang ditemui di tengah masyarakatnya dalam membangun masjid telah berkelidan dalam hati dan pikiran Pak Harto. Ia terus berpikir mencari solusi agar warganya memilih tempat ibadah yang layak. Akhirnya Pak Harto mendapatkan sebuah gagasan untuk menggerakkan rakyatnya bergotong royong membangun masjid dengan falsafah sapu lidi. “Batang daun pohon kelapa (lidi) kalau sendiri-sendiri tak dapat digunakan untuk menyapu bersih halaman rumah, namun jika berpuluh batang ;lidi disatukan dan diikat dengan kuat akan menjelma menjadi sapu yang digunakan untuk membersihkan halaman”.

Seperti dituturkan oleh Dr. Sulastomo, dalam buku Pak Harto The Untold Stories (2012), dalam sebuah kesempatan dirinya berdialog dengan Pak Harto, ia bertanya apa yang memotivasi Pak Harto membangun masjid begitu banyak di seluruh Indonesia. Pak Harto pun menjawab, “Saya ini presiden, saya ini umat Islam, dan saya tahu umat Islam Indonesia tidak mampu membangun masjid yang cukup untuk beribadah. Sebagai seorang muslim yang kebetulan menjadi presiden, tidak ada salahnya apabila saya mengajak lingkungan saya bersedekah untuk membangun masjid”.

Seperti dituturkan oleh Dr. Sulastomo, dalam buku Pak Harto The Untold Stories (2012), dalam sebuah kesempatan dirinya berdialog dengan Pak Harto, ia bertanya apa yang memotivasi Pak Harto membangun masjid begitu banyak di seluruh Indonesia. Pak Harto pun menjawab, “Saya ini presiden, saya ini umat Islam, dan saya tahu umat Islam Indonesia tidak mampu membangun masjid yang cukup untuk beribadah. Sebagai seorang muslim yang kebetulan menjadi presiden, tidak ada salahnya apabila saya mengajak lingkungan saya bersedekah untuk membangun masjid”.

Lebih lanjut Pak Harto mengungkapkan, karena bersifat sedekah, tentu saja tak boleh memberatkan. Besarnya sedekah itu ada yang lima puluh rupiah, seratus rupiah, dan lima ratus rupiah sebulannya. Ia mengajak para pegawai negeri yang beragama Islam untuk menerapkan falsafah sapu lidi dimaksud.

Dalam kerangka itulah, Pak Harto mentransformasikan falsafah sapu lidi ke manajemen modern. Sebagai kepala pemerintah Pak Harto bisa saja mendorong pembangunan masjid-masjid itu sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang berarti biayanya bersumber dari APBN. Namun itu tidak dilakukannya. Saat itu muncul kekhawatiran jika hal ini dilakukan, maka umat dari agama lain akan juga meminta pembangunan tempat ibadah dilakukan menggunakan anggaran negara. Membuat APBN yang masih lemah menjadi sangat terbebani. Lebih dari itu, beliau percaya jika umal Islam bisa bergotong royong untuk membiayai kegiatannya, maka ke depan banyak kegiatan umat Islam dapat dibiayai secara mandiri. Dalam konteks itulah Pak Harto berinisiatif menggalang partisipasi umat Islam melalui lembaga sosial.

    B.   Mendirikan YAMP

Pak Harto mengajak sejumlah koleganya yang sesama muslim untuk bersama-sama mendirikan Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila (YAMP). Hari itu, Rabu, 17 Februari 1982, Pak Harto bersama H. Alamsjah Ratuperwiranegara, Prof.Dr.Widjojo Nitisastro, dan Sudharmono, SH menandatangani akte pendirian YAMP di hadapan Notaris Soelaeman Ardjasasmita,SH. Selain itu, terdapat pula nama H. Amir Machmud dan H. Bustanil Arifin, S.H. Penandatangan akte diwakili oleh H. Sudharmono, SH.

Para pendiri itu menyepakati dua maksud dan tujuan dari pembentukan YAMP sebagaimana tertuang dalam akta No. 29 tanggal 17 Februari 1982, yakni :

a. Mewujudkan persaudaraan Islam dengan menggairahkan sedekah/ amal jariyah.

b. Mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin umat Islam Indonesia dalam negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam maksud dan tujuan YAMP memang tidak eksplisit mengungkap pembangunan masjid, hal itu baru terlihat pada usaha yang dicantumkan dalam akta bahwa Yayasan menyelenggarakan berbagai usaha yang salah satunya mengadakan kegiatan dan atau membantu umat Islam dalam bidang pendidikan, pemberian beasiswa, dakwah, penerbitan, penelitian dan pengembangan rumah ibadah, rumah sakit, panti-panti sosial, dan usaha produktif lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin umat Islam.

Dalam pelaksanaannya, dibentuklah pengurus lengkap yayasan yang terdiri atas 45 orang, yaitu :

Ketua   : H.M. Soeharto

Wakil Ketua : 1. H. Alamsjah Ratuperwiranegara

    2 Prof. Dr. Widjojo Nitisastro

    3. H. Amir Machmud

    4. KH. Tohir Widjaja

    5.   Drs.H.T.H. Gobel

Sekretaris : 1. Sudharmono, SH

    2.   KH. Muttaqin

    3. Ir. Drs.H. Ginandjar Kartasasmita

Bendahara : 1. H. Bustanil Arifin, SH

    2. H. Soekasah Somawinata

Anggota : 1. H. Adam Malik

    2. Umar Wirahadikusumah

    3. Moedjono, SH

    4. Dr.KH. Idham Chalid

    5. H. Soerono

    6. M. Jusuf

    7. Prof. Dr. Ali Wardana

    8. Prof. Drs. H. Harun Alrasyid Zain

    9. Prof. Dr. Emil Salim

    10. Dr.H. Soewardjono Surjaningrat

    11. Dr.Ir.H. Purnomosidi

    12. Hajisarosa

    13. Ali Said, SH

    14. Ali Murtopo

    15. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH

    16. H. Ismail Saleh, SE

    17. H. Rachmat Saleh, SE

    18. Widjojo Sujono

    19. H. Amir Murtono, SH

    20. H.J. Naro, SH

    21. dr. Abdul Gafur

    22. H. Abdul Rachman Ramly

    23. KH. Syukri Ghozali

    24. KH. Abdurrahman Ambo Dalle

    25. H.A.r. Fachruddin

    26. H.E. Kowara

    27. KH. Sapari

    28. H. Mohammad Tarmoedji

    29. H. Probosutedjo

    30. H.m. Yusuf

    31. Dr.H. Hasyim Ning

    32. Soedwikatmono

    33. Ir. Akbar Tanjung

    34. dr. H. Sulastomo, MPH

    35. H. A. Bakri

Para pendiri dan pengurus pun bersepakat menyisihkan hartanya untuk menjadi harta yayasan ini. Tercatat untuk pertama kali dana terkumpul sebesar Rp. 45 juta. Dengan bermodalkan kekayaan sebesar itu, YAMP mulai menjalankan kegiatannya. Sekretriat YAMP yang pertama berkantor di Jakarta, dengan didukung tenaga kesekretariatan yang berasal dari sekretariat Negara.

Usai menandatangani akta yayasan, lebih rinci Alahsjah Ratuperwiranegara sebagai salah satu wakil ketua menyampaikan kepada media massa bahwa yayasan itu bertujuan untuk mengumpulkan dana sesuai ajaran Islam dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Dana tersebut berasal dari sedekah, infak, amal jariah, wakaf, dan sumbangan lainnya berdasarkan kesukarelaan. Dana tersebut akan dimanfaatkan untuk pembangunan umat Islam seperti pendidikan, tempat ibadah, panti sosial, dan penelitian agama.

     C. Mengoperasionalkan Inisiatif Pak Harto

Sembilan bulan setelah pendirian YAMP, Pak Harto sebagai ketua mengirim surat nomor 12/YAMP/XI/1982 kepada Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI), sebuah organisasi yang menghimpun para pegawai negeri sipil dalam pemerintahan Republik Indonesia. Dalam surat tersebut Pak Harto menyampaikan, “...Berdasarkan atas keyakinan bahwa tujuan dan usaha yayasan seperti kami uraikan diatas sejalan dengan tujuan organisasi KORPRI, maka dengan ini kami menghimbau kepada anggota KORPRI, melalui saudara ketua, untuk kesediaannya menjadi penyumbang yayasan, secara sukarela dan sesuai dengan kemampuan....”.

Imbauan Pak Harto tersebut ditindaklanjuti oleh KORPRI yang menggelar Rapat Kerja pada tanggal 27 Nopember 1982 yang dipimpin langsung oleh Ketua KORPRI Pusat, Daryono. Gagasan dan imbauan yang diutarakan Pak Harto mendapatan sambutan positif dari peserta. Pada bagian akhir Rapat Kerja, Daryono menyatakan bahwa organisasinya mendukung penuh usaha mewujudkan gagasan Pak Harto. Rapat Kerja Korpri Pusat pun menyepakati dukungan penuh imbauan YAMP yang dituangkan dalam Keputusan Rapat Kerja KORPRI PusatNomor: Kep-04/RAKER/1982 tentang Sumbangan Sukarela anggota KORPRI disalurkan melalui Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila yang ditandatangani oleh Daryono sebagai Ketua dan A.E. Manihuruk sebagai Sekretaris.

Ada empat keputusan inti yang tertuang di dalamnya, yakni :

1. Menyetujui sepenuhnya imbauan Ketua Yayasan Amlbakti Muslim Pancasila.

2. Setiap anggota KORPRI yang beragama Islam memberikan amal jariah/ sedekah dan disalurkan melalui Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan yayasan.

3. Besarnya amal jariah/ sedekah sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua setiap bulan, yakni sebagai berikut :

    a. Anggota KORPRI golongan I Rp50,00 (lima puluh rupiah)

    b. Anggota KORPRI golongan II Rp100,00 (seratus rupiah)

    c. Anggota KORPRI golongan III Rp500,00 (lima ratus rupiah)

    d. Anggota KORPRI golongan IV Rp1000,00 (seribu rupiah)

4. Menugaskan kepada Pengurus Pusat KORPRI untuk mengambil langkah-langkah guna melaksanakan keputusan ini.

Berbekal keputusan inilah, secara administratif pengumpulan sedekah ini dari pegawai negeri sipil (PNS) anggota KORPRI yang beragama Islam pun dimulai. Lebih lanjut YAMP mengirim surat kepada Menteri Keuangan RI bernomor : 13/YAMP/XII/1982 tertanggal 8 Desember 1982 yang berisi permohonan untuk melakukan penghimpunan dana sumbangan KORPRI bagi YAMP. Surat tersebut ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan RI dengan menerbitkan surat edaran tentang pemberian amal jariah/ sedekah dari anggota KORPRI melalui mekanisme pemotongan gaji pegawai negeri anggota KORPRI yang beragama Islam sebagaimana ditetapkan oleh KORPRI serta saran agar dilakukan pemotongan pula bagi pegawai negeri anggota KORPRI yang nonmuslim yang disalurkan untuk usaha-usaha sosial melalui Yayasan Dharmais.

Kekompakan para PNS untuk bersedekah ternyata memotivasi sejawat mereka dilingkungan militer. Pada 30 Agustus 1983 Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Benny Moerdani mengeluarkan keputusan nomor ; B/361/P/07/11/02/set. Yang memerintahkan agar para anggota ABRI yang beragama Islam juga turut menyisihkan gajinya guna bersedekah bagi pembangunan masjid yang digagas Pak Harto melalui YAMP. Seperti halnya rekan-rekan mereka yang menjadi PNS, anggota ABRI juga ditetapkan untuk beramal/ bersedekah setiap bulannya sebagai berikut :

a. Tamtama Rp50,00 (lima puluh rupiah)

b. Bintara Rp100,00 (seratus rupiah)

c. Pama (Perwira pertama) Rp500,00 (lima ratus rupiah)

d. Pamen (Perwira Menengah) Rp1.000,00 (seribu rupiah)

e. Pati (Perwira Tinggi) Rp2.000,00 (dua ribu rupiah)

Tentu saja, Pak Harto bersama segenap pengurus YAMP tak hendak berlama-lama menunggu dana itu terkumpul dalam jumlah besar. Sejalan dengan proses pengumpulan sedekah dimaksud, langkah-langkah untuk merealisasikan pembangunan masjid pun mulai ditempuh.

3. Arsitektur Masjid YAMP

“Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar taqwa, sejak hari pertama itu lebih pantas untukmu melaksanakan salat di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri, Allah menyukai orang-orang yang bersih” (QS Attaubah/9:108)

     A. Masjid Quba – Model Panutan

Masjid Quba merupakan masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah SAW. Pembangunannya terkait dengan hijrah beliau dari kota Makkah ke Madinah akibat tekanan yang luar biasa dari kaum yang menolak ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mendekati kota Madinah, Rasulullah dan Muhajirin yang telah ditunggu-tunggu oleh kaum Anshor membiarkan unta yang mereka kenderai berjalan sendiri dan berhenti pada suatu tempat untuk beristirahat. Di tempat unta berhenti itulah, Rasulullah berinisiatif untuk membangun sebuah masjid, tempat bagi dirinya dan segenap umat Islam di Madinah menunaikan salat, beribadah kepada Allah SWT

Bangunan masjid Quba yang didirikan Rasulullah menjadi tipikal masjid-masjid yang didirikan pada masa-masa selanjutnya. Saat itu bangunannya teramat sederhana, suatu ruang berbentuk persegi empat dengan dinding dari batu bata bercampur tanah liat disekelilingnya. Pada bagian utara dibuat serambi untuk tempat salat bertiang pohon kurma, beratap datar terbuat dari pelepah daun korma bercampurkan tanah liat. Di tengah-tengah terdapat ruang terbuka, dengan sebuah sumur untuk berwudhu. Cahaya matahari dan udara leluasa masuk ke dalam masjid. Meski begitu, dalam bangunan yang amat bersahaja itu kebersihan dan kesuciannya sangatlah dijaga.

Seiring dengan pesatnya perkembangan Islam, yang menyebar hingga keluar semenanjung Arab, masjid yang dibangun generasi-generasi pemeluk Islam berikutnya mengalami penyempurnaan. Sentuhan dan pengaruh kebudayaan telah melahirkan bangunan masjid yang bukan saja suci dan mulia, melainkan megah. Sebut saja masjid Salimiah Istambul, Turki yang dibangun oleh Dinasti Usmaniah atau masjid Badashahi di Lahore, Pakistan, demikian pula dengan masjid Imam Bukhari di Uzbekistan, masjid Isfahan di Iran, serta masjid Nabawi di kota Madinah Al Munawarah, Saudi Arabia.

Akan halnya masjid Quba, setelah direnovasi beberapa kali, kini telah menjadi masjid yang dapat menampung 2.000 jamaah, dilengkapi dengan menara dan lantai marmer mengkilap dan dinaungi kubah nan megah. Tiap tahun jutaan umat Islam berkunjung, menunaikan shalat dan merenungi hikmah keberadaannya.

     B. Masjid-Masjid di Nusantara

Ada hikmah di balik pembangunan masjid Quba, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya bahwa hal pertama yang hendaknya dilakukan dalam mengawali sebuah peradaban Islam, yaitu membangun masjid. Inilah yang kelak dipahami generasi demi generasi penganut Islam di seluruh dunia, tak terkecuali di kepulauan Nusantara.

Tak diketahui di manakah masjid pertama yang dibangun di Nusantara. Hanya saja, Masjid Wapauwe dicatat sebagai masjid paling tua yang masih tegak berdiri. Masjid yang berlokasi di Keitetu, Maluku berdiri pada tahun 1414.

Ketika umat Islam di Nusantara secara politik mampu membangun peradabannya sendiri, salah satu ikhtiar utamanya yaitu membangun masjid sebagai titik orientasi pada lanskap kota yang menjadi pusat pemerintahan. Kesultanan Mataram di pulau Jawa yang bangun pada abad ke-7 oleh Panembahan Senopati memiliki kawasan pusat pemerintahan yang ditandai dengan sebuah lapangan berbentuk segi empat, yang pada sisi selatan terdapat istana tempat sang penguasa berdiam, pada sisi barat terdapat masjid, pada sisi utara terdapat pasar dimana rakyat, berniaga, dan di sebelah timur balai pengadilan dan penjara tempat hukum ditegakkan.

Pada masa-masa berikutnya, ciri khas lanskap kota-kota berperadaban Islam di Jawa senantiasa mengikuti pola demikian. Cermati saja kota-kota seperti Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta. Bahkan kota-kota yang dibangun pada masa berikutnya mendapat pengaruh kuat dari Mataram seperti Bandung dan Cianjur.

Demikian pula, para Wali Sanga (sembilan pendakwah Islam) senantiasa mendirikan masjid sebagai pusat pelaksanaan aktivitasnya. Dalam hal ini, membangun masjid merupakan suatu peristiwa sangat pentingsakral, dan dipenuhi kisah-kisah spiritual. Pembangunan Masjid Agung Demak di Jawa Tengah pada tahun 1475 atau pun Masjid Agung Sang Ciptarasa di Cirebon pada tahun 1480 dikenang sebagai peristiwa bersejarah yang kisahnya terus dituturkan generasi demi generasi hingga kini.

Studi yang dilakukan para ilmuan mendapati bahwa bentuk bangunan masjid di Nusantara di masa silam berbeda dengan masjid-masjid milik saudara sesama muslim di Asia Tengah, Timur Tengah, Andalusia, maupun Afrika Utara. Sebagian ahli menunjuk adanya pengaruh kebudayaan Cina dalam berbagai elemen masjid, seperti menara masjid Kudus. Sebagian lagi menyatakan adanya pengaruh Hindu yang sudah berkembang lebih dahulu di Nusantara. Namun pengaruh-pengaruh itu lebih kepada tampilan luar dari masjid-masjid tersebut. Sementara format dan elemen-elemen masjid sesungguhnya tak jauh berbeda dengan masjid quba; sebuah banguan berbentuk segi empat, menghadap kiblat (garis lurus dengan letak Kaabah di Mekkah), dengan sebuah mihrab tempat seorang imam memimpin shalat berjamaah atau menyampaikan kutbah saat shalat Jum’at, dilengkapi dengan sumber air untuk wudhu.

Hanya saja, sebuah masjid tidaklah hadir begitu saja di ruang kosong. Perancangnya, siapa pun dia, harus dapat merespon tantangan yang didapatinya, baik dari lingkungan alam seperti cuaca, iklim, ketersediaan bahan baku, hingga dinamika masyarakatnya seperti mata pencaharian, penguasaan pengetahuan dan teknologi bangunan, spiritual keagamaan, hingga situasi politik dan keamanan pada masa itu. Semua itu mempengaruhi pilihan jawaban sang perancang yang diterjemahkan dalam arsitektur masjid.

Masjid Demak merupakan salah satu masjid tua yang dibangun pada masa Kesultanan Demak. Konon, masjid yang berlokasi di kelurahan Bintoro, Demak, Jawa Tengah diarsiteki secara kolaboratif oleh Wali Sanga kemudian menjadi rujukan pembangunan masjid-masjid berikutnya di Nusantara. Salah satu kekhasan masjid Demak yakni tidak mengenal penggunaan kubah, sebagai gantinya diperkenalkan cungkup (struktur limas yang digalang pada bagian atas masjid). Cungkup tersebut tidaklah satu, tapi bertumpuk tiga dengan ventilasi dibuat antara masing-masing cungkup sebagai void udara dari dalam ruangan masjid.

Masjid dengan tiga cungkup ini ternyata bukan hanya dijumpai di tanah Jawa, diketahui masjid Indrapuri Aceh pun berbentuk seperti masjid Demak lengkap dengan cungkup tiga diatasnya. Demikian pula masjid Kyai Gede Kutawaringin di Kalimantan Selatan. Sehingga dapatlah dikemukakan bahwa arsitektur masjid bercungkup tiga merupakan masjid khas Nusantara.

     C. Memaknai Pesan Simbolik Masjid

Ada pemahaman yang lain merujuk kepada spiritualitas keagamaan para penguasa yang berinisiatif membangun masjid tersebut. Diyakini bahwa tiga cungkup itu memiliki makna simbolik tentang tiga rukun yang harus dilengkapi oleh umat Islam. Cungkup paling bawah merupakan perlambang rukun Iman, cungkup yang kedua yang berada ditengah adalah perlambang rukun Islam, dan cungkup ketiga yang berada paling atas melambangkan rukun ihsan.

Pemaknaan spiritual bentuk masjid bercungkup tiga sangat mendalam dihayati oleh umat Islam di tanah Jawa, tak terkecuali dalam diri Pak Harto. Kelak ketika mencari model arsitektur masjid macam apakah yang hendak dibangun bagi rakyatnya melalui YAMP, Pak Harto berpaling kepada masjid Demak. Ini yang diungkapkan oleh Ir. Nandang Sholihin, arsitek lulusan ITB yang dipercaya untuk mendesain masjid YAMP. Bahwa tiga cungkup itu menggambarkan alam atau maqam perjalanan manusia menuju kepada Sang Pencipta-Nya. Cungkup bagian bawah menggambarkan Alam Purwayakni semesta tempat ruh manusia bersemayam sebelum hadir dunia, yakni di rahim ibunya; cungkup bagian tengah merupakan perlambang semesta tempat manusia hidup di dunia atau Alam Madya; cungkup ketiga yang berada paling atas merupakan perlambang semesta tempat ruh manusia bersemayam selepas dari kehidupan di dunia dalam rangka meraih ridha Illahi atau Alam Wusana.

Pemaknaan Pak Harto terhadap masjid yang hendak dibangunnya tidaklah berhenti sebatas melakukan “copy paste”atas rancang bangun masjid Demak menjadi masjid baru. Alih-alih, Pak Harto menghendaki pada desain masjid tersebut diletakkan nilai-nilai filosofis yang sejak tahun 1945 disepakati founding fathers way of life, yakni Pancasila.

Bagi Pak Harto kehadiran nilai-nilai Pancasila sangatlah penting dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, termasuk dalam bangunan masjid tempat mereka beribadah. Baginya meletakkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bangsanya merupakan jalan tengah yang membimbing bangsa Indonesia keluar dari kemelut peradaban akibat pertarungan ideologi yang terjadi sepanjang awal pembentukan bangsa dan seperempat abad pertama kelahiran negara Republik Indonesia.

Disebut jalan tengah, karena Pancasila merangkum saripati ideologi-ideologi yang dipertarungkan para pengusungnya untuk menjadi way of life negara bangsa ini. Tentu saja, berbeda dengan Bung Karno yang menyertakan komunisme, dalam konsep Pak Harto tentang Pancasila sebagai way of lifejustru menyingkirkan komunisme karena justru bertentangan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan diyakini menjadi pokok masalah perseteruan tiada habisnya dalam pertarungan ideologi dalam diri bangsanya.

Pak Harto juga memahami bahwa ada kecenderungan penyokong ideologi Islam untuk memilih garis-garis yang lebih lugas dalam penegakan syariat Islam, sesuatu yang selalu dicemaskan oleh kelompok nasional sekuler maupun umat nonmuslim sebagai hal intoleran atau dalam bahasa kekinian bersifat radikal. Pak Harto meyakini kehadiran Pancasila dalam kehidupan umat Islam dapat memoderasi serta menjadi jembatan penghubung mereka, baik dengan kelompok nasionalis sekuler, maupun nonmuslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hanya saja Pak Harto juga berhati-hati meletakkan Pancasila dalam kerangka desain masjid. Sebab, jika salah meletakkannya dapat berakibat fatal, mengganggu nilai-nilai Islam itu sendiri. Di sinilah muncul solusi kreatif yang cerdas. Pancasila tidak diletakkan sebagai elemen atau ornamen pada ruang dalam masjid, sebagai gantinya Pancasila diletakkan secara simbolik pada bagian atas masjid. Alih-alih mempertahankan memolo masjid berlambang bulan-bintang yang lazim ditemukan pada masjid-masjid kala itu, Pak Harto menggunakan bingkai segi lima sebagai transformasi dari lima nilai dari Pancasila dengan lafaz “Allah” dalah huruf Arab yang ditempatkan pada bagian dalam bingkai tersebut.

Solusi kreatif ini tergolong radikal, sesuatu yang baru, di luar kelaziman, tetapi mendasar. Hal ini segera menimbulkan reaksi beragam dari para ulama maupun masyarakat pada umumnya. Meski harus diakui, tak ada landasan syar’i yang melarang solusi kreatif yang demikian. Apalagi, sejumlah masjid kuno di Nusantara umumnya tak menggunakan perlambang bulan bintang pada memolonya. Alhasil, memolo masjid Muslim Pancasila ini mengharmoniskan kehendak Pak Harto untuk meletakkan nilai-nilai Pancasila ke dalam masjid yang dibangunnya tanpa harus mengusik kesucian Islam di dalamnya.

4. Teknologi dan Manajemen Pembangunan Masjid

“Siapa yang menyambung saf, Allah akan menyambungnya dan siapa yang memutus saf, Allah Ta’ala akan memutusnya” (HR.Nasai 827 dan disahihkan oleh Al Albani)

      A. Ruangan untuk Shalat

Membangun masjid memang merupakan pekerjaan teknis yang bersifat fisik, akan tetapi berbeda dengan bangunan-bangunan yang lain, pembangunan masjid dilakukan tak hanya mempertimbangkan ketersediaan bahan baku, tantangan alam dan lingkungan ataupun biaya pembuatannya. Lebih dari itu, ada nilai-nilai yang harus diperhatikan yang sumbernya dari kitab Suci Alqur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW, utamanya terkait dengan pemanfaatan masjid sebagai tempat menunaikan shalat serta aktivitas kehidupan umat Islam pada umumnya.

Petikan hadis yang disampaikan pada awal bab ini memiliki implikasi yang kuat terhadap wujud suatu masjid, utamanya ruangan yang dijadikan tempat menunaikan shalat berjamaah. Hadis yang memberikan tuntunan bagaimana seharusnya umat Islam membentuk barisan (saf) dalam melakukan shalat berjamaah, dimana saf tersebut tidak boleh diputuskan karena sesuatu. Hadis tersebut tidak sendirian, ada hadis dari periwayat lain yang lebih menegaskan keharusan itu, “Dulu pada zaman Rasulullah SAW, kami membuat saf diantara tiang-tiang dan kami jauhi tiang-tiang itu” (HR.Ibnu Hiban 2219 dan dihasankan Syuaib al Arnauth).

Implikasinya, masjid yang dibangun selain mengikuti model masjid Quba juga memperhatikan benar keberadaan hadis ini, menghindari pembangunan masjid yang memiliki tiang-tiang dapat memisahkan saf-saf shalat berjamaah. Sesuatu yang secara arsitektural merupakan tantangan yang tidak mudah untuk dijawab oleh para perancang masjid dari masa ke masa.

Ketika masjid hanya dibangun dengan meninggikan empat dinding yang membatasi ruang shalat yang suci dengan wilayah sekitarnya, persoalan yang demikian sungguh mudah dicari solusinya. Namun kehendak manusia untuk memuliakan masjid dengan cita rasa estetika tak bisa dihindarkan. Belum lagi, para jamaah juga perlu dinaungi dari teriknya matahari atau guyuran air hujan yang dapat mengganggu khusyuknya beribadah. Semua itu memerlukan penutup atau atap masjid yang melindungi sekaligus terlihat indah. Untuk itu, para arsitek memanfaatkan kolom-kolom penyangga yang didirikan di dalam ruangan peribadatan. Pada sejumlah masjid, kita menemukan ada begitu banyak tiang yang memenuhi ruangan masjid. Hal ini sering menimbulkan perdebatan apakah yang demikian justru mengurangi keabsahan shalat berjamaah di dalamnya.

Memang kegamangan itu akhirnya diredakan melalui fatwa ulama. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin “Shalat diantara tiang hukumnya boleh jika ruangan masjid terbatas. Tetapi jika kondisinya luas, maka tidak boleh shalat diantara tiang, karena hal tersebut memutus saf shalat berjamaah”(Fatwa Arkanil Islam hlm.310).

Meski begitu, para arsitek tak puas diri. Mereka terus mencari jawaban atas tantangan arsitektural yang bersifat syar’i ini. Tanpa terkecuali para arsitek yang ditugasi Pak Harto untuk merancang masjid. Tantangan tersebut berhasil dijawab oelh perancang YAMP. Mereka menemukan rumus perhitungan struktur kerangka atap dengan bentangan tertentu akan tetap kokoh melandasi atap masjid tanpa harus diberi kolom-kolom pentangga. Formula inilah yang kemudian diterapkan, sekaligus menjadi ciri khas masjid-masjid yang dibangun oleh YAMP.

      B. Menetapkan Kiblat Masjid

Persoalan saf yang tak boleh terputus bukanlah nilai atau kaidah syar’i satu-satunya yang harus dicari jawaban arsitekturalnya oleh perancang masjid YAMP. Kaidah syar’i berikutnya yang sangat fundamental bagi sebuah masjid yaitu arah kiblat. Ini berhubungan erat dengan syarat sah seseorang melakukan salat. Perintah Allah SWT. Tersebut menjadi landasan tentang menghadap Ka’bah ketika shalat.

Sebelum arah kiblat menghadap Ka’bah, muslim melakukan shalat dengan menghadap ke masjidil Aqso di Yerusalem, Palestina. Namun pada suatu ketika seperti diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, ketika Nabi Muhammad SAW sedang menunaikan shalat di Masjid Qiblatan di Madinah, Allah SWT menurunkan wahyu yang berisi perintah mengubah arah kiblat tersebut ke Ka’bah di Masjidil Haram:

“Sungguh kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan menghadapkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram dan dimana saja kamu berada, hadapkan wajahmu ke arahnya” (QS Al Baqarah :144).

Tentu saja, keharusan shalat menghadap Ka’bah di Mekkah berimplikasi pada pembangunan masjid di mana pun umat Islam berada. Tak terkecuali umat Islam di Indonesia, yang lokasinya berjarak ribuan kilometer di arah timur Mekkah. Dalam konstek ini, umat Islam di Indonesia telah sejak lama mengatur posisi atau arah masjid agar tepat mengarah ke Ka’bah. Secara prinsip, karena lokasi Indonesia berada dibelahan bagian timur dari semenanjung Arab, maka umat Islam melakukan shalat dengan menghadap ke barat, dengan maksud mengarah ke Ka’bah di Mekkah. Namun, seiring dengan pemahaman geografi yang semakin canggih, letak Indonesia jika dihitung dari arah utara posis Masjidil Haram yaitu 294,2 derjat. Itu berarti, letaknya tidak tegak lurus ke Barat, agak serong ke Barat Laut.

Mencermati hal tersebut, perancang masjid YAMP juga sangat memperhatikan arah kiblat masjid yang dibangunnya. Karena itu, pada tahap paling awal dalam menyiapkan tapak bangunan masjid pihak kontraktor diwajibkan untuk melakukan kalibrasi arah kiblat sebagaimana dimaksud. Sehingga, dapat dipastikan bahwa arah kiblat masjid-masjid YAMP telah persis mengahadp Ka’bah di Mekkah, Saudi Arabia.

    C.   Mihrab

Shalat berjamaah senantiasa dipimpin oleh Imam, yang berdiri di ruang paling depan dari saf ma’mum. Untuk kepentingan itu, dalam suatu masjid dibuatkan sebuah tempat bagi seorang imam menunaikan tugasnya. Tempat itu disebut mihrab. Mihrab juga menjadi tempat bagi seorang khatib pada shalat Jum’at menyampaikan kutbah. Karenanya, selain terdapat bagi seorang imam melaksanakan tugasnya memimpin shalat berjamaah, terdapat pula mimbar tempat sang Khatib menjalankan tugasnya. Mimbar tersebut umumnya merupakan tempat yang lebih tinggi, lazim berbentuk podium, dengan dilengkap sarana pengeras suara, bahkan tongkat sebagai alat bantu berdiri bagi khatib yang sudah sepuh.

Dalam khazanah pembangunan masjid, mihrab termasuk salah satu spot yang mendapat perhatian khusus. Selain dibentuk dalam bentuk ceruk pada bagian dinding paling barat, pada banyak masjid mihrab dihiasi dengan hiasan ornamen-ornamen yang menarik. Demikian pula, ada masjid yang mimbarnya dibuat megah dengan hiasan atau bahkan ukiran yang menarik.

Perancang masjid YAMP memilih untuk menerapkan pendekatan minimalis untuk mihrab. Ini dilakukan agar ruangan masjid secara visual menjadi ruang yang membuat para jamaah beribadah dengan khusyuk. Ceruk di bagian depan masjid dihiasi ornamen, sebagai gantinya dipasang lafaz “Allah” tepat di dinding atas. Sementara mimbar dibuat dari kayu tanpa hiasan atau ukiran tertentu. Meski begitu, perancangnya memberi ruang bagi pengelola masjid untuk dapat melakukan sejumlah inovasi dan penambahan yang membuat mihrab menjadi lebih indah, namun tetap menjaga kekhusyukan mereka yang beribadah di dalam masjid.

     D. Sumber Air dan Tempat Berwudhu

Air merupakan kebutuhan utama bagi setiap umat Islam yang hendak menunaikan salat. Sebelum menjalankan ibadah shalat dipersyaratkan terlebih dahulu mengambil air wudhu. Dalam keadaan darurat, baik karena kesulitan mendapatkan sumber air, ketika di perjalanan atau peperangan, berwudhu tersebut dapat diganti dengan tayamum (bersuci menggunakan debu).

“Hai orang-orang beriman, jika kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai sikut dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai kedua mata kaki” (QS Al Maidah:6)

Perintah Allah SWT untuk berwudhu itu dipertegas lagi oleh hadis yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk berwudhu apabila hendak mengerjakan salat”(HR.At Tarmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’i dengan derajat sahih). Demikian pula Abu Hurairah ra berkata. “Rasulullah SAW bersabda, “Tidak diterima salat salah seorang dari kalian apabila berhadas, hingga ia berwudhu”, (HR.Bukhari dan Muslim).

Ketentuan syar’i, untuk berwudhu dengan air bersih ini mendorong umat Islam menemukan dan mengembangkan teknologi air bersih. Bahkan di daerah-daerah muslim yang tak memiliki sumber air, para ilmuannya kemudian mengembangkan teknologi saluran air yang dapat mengalirkan air dari tempat-tempat yang jauh guna memenuhi kebutuhan bersuci di masjid.

Perancang masjid YAMP sangat mempertimbangkan ketersediaan air bersih sebagai bagian vital sebuah masjid. Dalam kerangka itu, masjid-masjid yang dibangun YAMP juga dilengkapi dengan sumur bor. Ini terapkan, mengingat tidak semua daerah dimana masjid dibangun memiliki sumber air yang cukup atau lokasinya dekat dengan masjid. Selain dari itu, perancang masjid YAMP juga menyiapkan tempat berwudhu dan peturasan (toilet) pada sayap kiri dan kanan masjid guna memudahkan jamaah pria dan wanita bersuci atau mengambil wudhu. Dalam kerangka itu, perancang juga menyiapkan ruang bagi generasi penerus pengelola masjid kelak untuk mengembangkan tempat bersuci ini lebih luas dan lebih banyak lagi seiring dengan perkembangan masjid itu kemudian hari.

      E. Menara untuk Azan

Shalat wajib dilakukan oleh seorang muslim lima waktu dalam sehari yakni, Subuh pada dini hari, Zhuhur ketika siang tiba, Ashar saat sore hari, Maghrib ketika matahari mulai terbenam di senja hari dan Isya saat malam tiba. Setiap tiba waktunya shalat wajib umat Islam dianjurkan menghentikan aktivitas duniawinya untuk bersegera menunaikan shalat dengan berjamaah di masjid-masjid terdekat. Memasuki waktu-waktu shalat tersebut, dari masjid dikumandangkan panggilan shalat (azan) oleh seorang muazin.

Pada masa lalu, agar suara adzan tersebut dapat menjangkau lokasi umat yang jauh, maka panggilan azan dilakukan dari tempat yang tinggi. Dalam konteks inilah, kelak berkembang teknologi menara masjid dan teknologi pengeras suara. Menara masjid dirancang sedemikian rupa, tak hanya dari aspek fungsionalnya tapi juga estetikanya. Tak jarang ketinggiannya juga bisa mencapai lebih dari 20 meter. Dan seorang muazin harus menaiki tangga untuk mencapai puncaknya sebelum melakukan azan.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kini umat Islam memanfaatkan teknologi pengeras suara elektronik untuk melakukan panggila salat. Pengeras suara tersebut di pasang di puncak-puncak menara masjid, sehingga muazin tak perlu lagi memanjat ke puncaknya. Muazin cukup mengumandangkan panggilan salat dari ruangan dalam yang kemudian disalurkan melalui pengeras suara yang terpasang di puncak menara masjid.

Hal menarik, di Indonesia panggilan salat oleh seorang muazin didahului suara beduk atau kentongan sebagai penanda datangnya waktu salat. Beduk dan kentongan merupakan teknologi yang sudah lazim digunakan sebagai media komunikasi oleh masyarakat Indonesia terdahulu. Pada masa itu, untuk mengabarkan suatu pesan atau kehadiran seorang utusan penguasa lazim dipukul kentongan atau beduk. Oleh para pendakwah Islam teknologi ini tidaklah disingkirkan, namun diserap dan dimanfaatkan sebagai penanda datangnya waktu salat di masjid-masjid yang di bangun. Pada masa kini, masih banyak masjid yang mempraktikan penggunaan beduk dan kentongan. Tak heran pabila pada masjid-masjid tersebut msih dijumpai beduk atau kentongan di salah satu sudut ruang belakang atau samping. Keterampilan membuat dan memukul beduk atau kentongan juga diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Bahkan pada perkembangan berikutnya, memukul beduk atau kentongan menjadi ajang festival yang menarik perhatian.

Perancang masjid YAMP mengambil keputusan untuk membangun menara pada masjid yang dibangunnya, Perancang masjid memberi keleluasaaan kepada pengelola masjid untuk membangun sendiri menara tersebut. Keputusan ini diberikan dangan pertimbangan bahwa kehadiran menara sangat kondisional, tergantung kepada tingkat urgensinya.

      F. Bangunan Masjid yang Seragam

Kini tiba giliran sang perancang masjid YAMP menggambarkan apa yang menjadi kehendak Pak Harto dengan kaidah-kaidah dasar bangunan masjid sesuai syar’i. Selain itu, perancang masjid diingatkan bahwa mereka tidak sedang membuat sebuah masjid melainkan ratusan bahkan mungkin ribuan masjid di seluruh Indonesia. Kehendak ini menjadi pertimbangan tersendiri. Perancang sepakat untuk membangun dengan bentuk seragam.

Bentuk yang seragam ini secara teknis membuat efektifitas dan efesiensi tinggi, karena bahan-bahan bangunan bisa dibuat secara massal dengan ukuran dan bentuk serta bahan yang relatif sama. Pada sisi lain, keseragaman tersebut menjadi identitas pembeda dengan masjid-masjid yang dibangun oleh pihak lain selain YAMP. Penyeragaman ini segera terlihat pada bagian atap masjid yang mengambil bentuk cungkup tiga dengan memolo Pancasila yang khas.


Namun demikian, mengakomodasi beragamnya luas lahan yang disediakan masyarakat untuk masjid. YAMP juga membuat tiga pilihan ukuran bangunan yang seragam itu yakni:

a. Tipe 1 : ukuran 15 x 15 m

b. Tipe 2 : ukuran 17 x 17 m

a. Tipe 3 : ukuran 19 x 19 m

Masyarakat yangmemiliki lahan yang luas dan memiliki jumlah penduduk yang banyak dibangunkan masjid YAMP Tipe 3 sementara yang lahannya sangat terbatas masih dapat dibangunkan masjid YAMP Tipe 1.

     G. Struktur Bangunan Masjid YAMP

Perancang masjid YAMP mendesain masjid sebagai bangunan satu lantai. Struktur masjid ini direncanakan dengan sistem struktur utama konstruksi baja berpembatas ruang dinding bat sebagai agregat (pengisi). Struktur bangunan terdiri atas dua bagian yakni struktur atas dan struktur bawah.


Struktur atas menggunakan baja dengan pertimbangan kriteria, mudah dibuat sebagai komponen prefab. Komponen rangka baja memungkinkan untuk membuat bentangan yang besar.

Struktur bawah dibangun dengan menggunakan kriteria; kemudahan dalam pelaksanaan, serta ketersediaan bahan setempat, daya dukung tanah, dan biaya yang relatif murah. Untuk itu, ditentukan ada dua jenis pondasi yakni pondasi batu kali untuk tanah yang keras, dan pondasi plat beton untuk tanah lunak/ gambut.

     H. Bahan Bangunan untuk Masjid

YAMP membuat suatu kebijakan terkait dengan bahan bangunan dan tenaga kerja yang dilibatkan dalam pembangunan masjid YAMP.

1. Struktur Baja

Struktur baja masjid YAMP terdiri dari berbagai jenis komponen yang berjumlah 61 komponen dengan jumlah 3.133 lembar/ batang dengan total berat 21.898,27 kg. Penanganan pekerjaan struktur rangka atap baja dngan sistem fabrikasi agar kualitas pekerjaan relatif sama di semua lokasi, baik kota besar maupun di daerah terpencil. Penanganan dengan sistem fabrikasi ini juga dapat mempersingkat waktu pelaksanaannya.

Ketiga jenis ukuran masjid (Tipe 15, 17 dan 19) memiliki dimensi profil batang baja yang sama. Dalam hal ini, solusi desain enjineringnya dilakukan dengan menyediakan bagian yang sama lebarnya untuk ketiga tipe yaitu pada trave kolom berjarak 7 meter. Pada kedua trave itulah terdapat pintu masuk utama, mihrab, dan pintu dari kedua ruang wudu. Sementara itu, cungkup berada diatas bagian ini, dengan sudut atas cungkupnya disesuaikan dengan menambah klos pada struktur prefab kolom dan kuda-kuda baja.

Perbedaan ukuran ketiga tipe masjid pada jarak trave kolom sudut tepi berjarak 4 M untuk tipe 15, berjarak 5 M untuk tipe 17, dan 6 M untuk tipe 19. Pada masing-masing dinding travenya ditempatkan tiga kusen jendela yang sama tipe dan ukurannya. Dengan struktur baja yang demikian, maka jika terjadi gempa diyakini masjid ini akan tetap kokoh berdiri

2. Pondasi

Perancang menetapkan dua jenis bahan baku pondasi masjid yakni batukali dan cerucuk. Batukali digunakan pada lahan tanah yang keras. Jika dilakukan pengurugan lahan masjid, maka kedalaman galian minimal 50 cm dari permukaan tanah asli. Sedangkan urugan pasir setebal 20 cm dipadatkan (stampar) dengan adukan stamping setinggi 10 cm.

Jika di lahan rawa atau gambut maka digunakan cerucuk sebagai pondasi. Kayu yang dipilih adalah kayu dolken setara rasamala berdiameter 10 cm panjang 4 m. Pasir urug padat dengan ketebalan bervariasi. Plat beton bertulang sesuai gambar, dengan dinding bata di bawah lantai diberikan pada kedua permukaan.

      3. Dinding Masjid

Bahan bangunan untu dinding masjid dipilihkan pasangan bata cmpuran dan diplaster. Selanjutnya pengecatan dinding disesuaikan dengan warna bahan.

     4. Kusen dan Pintu

Kusen jendela dibuat dari jati (untuk masjid di pulau Jawa) dan di plitur. Sementara diluar Jawa menggunakan kamper kelas i atau kayu lokal terbaik dan dicat.

Pintu utama dan pitu samping memakai bahan rangka kayu jati untuk masjid di pulau Jawa dan kayu kamper untuk masjid diluar Jawa, dengan diberi tralis besi.

     5. Lantai Masjid

Lantai masjid menggunakan bahan ubin keramik 30 x 30 kualitas i merek Roman atau setara. Kemiringan lantai teras luar 10 % ke arah saluran plin lantai dari bahan keramik ukuran 10 x 20 cm, warna ntua (merah tua, merah bata, coklat tua, dsb.)

     6. Plafon Masjid

Plafon menggunakan rangka kayu meranti ukuran 5/10 untuk rangka utama dan .5/7 untuk rangka pembagi, dilapis dengan triplek 4 mm, finishing dengan cat warna putih. Kayu penggantung dipasang pada rangka utama.

     7. Atap Masjid

Rangka atap dan kuda-kuda struktur baja diberi penutup atap asbes gelombang yang dicat. Pemasangan asbes gelombang untuk cungkup atas berada di bawah dudukan logo, sesuai dengan gambar pelaksana yang disediakan oleh PT. Bakrie Building Industries.

Sementara itu, genteng yang digunakan ialah genteng bermis yang dicat dan pemasangannya mengikuti petunjuk dari PT. Bermis Sarana Wisma.

     8. Lisplak & Nok

Rangka berbahan kayu kamper samarinda atau bengkirai atau yang setara dan lisplank dari asbes gelombang satu lapis dan untuk genteng bermis memakai genteng satu lembar.

Nok diberi adukan pasir dan semen yang memakai kerangka kawat ayam.

     9. Ruang Wudu dan Toilet

Dinding keramik 10 x 20 cm kualitas I warna putih.di cor semen putih, lantai ubin keramik permukaan kasar.

    10. Sumber Air

Pompa Ortex menggunakan daya listrik..

     11. Pagar Masjid

Sekeliling masjid dibangunkan pagar dengan bahan berupa besi bulat dan baja siku.

5. Geografi Masjid YAMP

“Menurut catatan yang kami punyai, tidak ada satu pun lembaga atau yayasan di dunia ini yang melakukan kiprah (membangun masjid) sebagaimana dicontohkan YAMP” Jaya Suprana, Ketua Museum Rekor Indonesia (MURI)

      A. Generasi Pertama Masjid YAMP

Sesungguhnya, masjid-masjid yang dibangun YAMP pada masa awal belum sepenuhnya menerapkan tiga cungkup pada bagian atapnya. Desain masjid tersebut lebih merefleksikan bangunan rumah tradisional Jawa, dengan dua cungkup bersusun dan dipuncaki oleh memolo segi lima Pancasila. Masjid-masjid dengan dua cungkup ini masih bisa ditemukan di beberapa lokasi, antara lain masjid Darul Ulum yang ada di kompleks Pendidikan Muhammadiyah, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Demikian pula masjid Al Kautsar, yang terletak di Jalan Mahakam, Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Kedua masjid ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Namun demikian, bentuk awal bangunan tetap dipertahankan.

Masjid Al Kautsar, Depok merupakan masih bersejarah bagi YAMP. Dilokasi masjid inilah Presiden Soeharto untuk pertama kalinya meresmikan dimulainya program pembangunan masjid-masjid yang diprakarsai oleh YAMP. Pembangunannya dimulai tahun 1983 di atas tanah wakaf dua hektar dan peresmiannya dilakukan oleh Presiden Soeharto pada 30 Januari 1985. Dalam kesempatan tersebut Pak Harto menyampaikan amanahnya agar umat Islam Indonesia dapat membulatkan tekad untuk mengharamkan usaha mempertentangkan Pancasila, baik sebagai dasar negara, ideologi, maupun pandangan hidup bangsa , dengan agama.

Dalam perkembangannya, tidak semua peresmian masjid dilakukan oleh Presiden Soeharto. Sebagai gantinya, beliau mempercayakan kepada para pengurus YAMP lainnya untuk meresmikan masjid-masjid tersebut. Namun sebagai bentuk pertanggungjawaban sebagai Ketua YAMP. Pak Harto senantiasa membubuhkan tandatangannya pada prasasti pembangunan masjid yang terbuat dari batu marmer. Prasasti itu dipasang disalah satu dinding bagian dalam masjid.

Sementara itu, masjid generasi berikutnya mulai menerapkan atap tiga cungkup. Ini dimulai dengan pembangunan sejumlah masjid, yakni :

1. Masjid Kompleks Deoartemen Kehutanan RI Kelora Gelora, Kecamatan Tanah Abang Kota Jakarta Ousat, DKI Jakarta.

2. Masjid Kompleks Kantor BPK Kelurahan Bendungan Hilir Kecamatan Tanah Abang Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta.

3. Masjid Kompleks PLN/PGN Kelurahan Jatinegara Kecamatan Cakung Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta.

4. Masjid UPN Veteran Jalan SWK No. 104 Lingkar Utara Desa Condong Catur Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta.

5. Masjid Kompleks Pasar Beringharjo Kelurahan Ngupasan Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta, D.I. Yogyakarta.

6. Masjid Kompleks Perumahan Karyawan PT. Merpati Nusantara Airlines dan Kehutanan Kelurahan Pabean Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

7. Kompleks Kawasan Wisata Nusa Dua, Kelurahan Benoa Kecamatan Kuta Kabupaten Badung, Bali.

     B. Persebaran Masjid YAMP

Sejak tahun 1982 hingga 2009 YAMP berhasil membangun 999 masjid dengan persebaran sebagai berikut :


Dari data tersebut, dapat disampaikan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki masjid YAMP terbanyak (147 masjid), disusul Jawa Timur (136 masjid), dan Jawa Tengah (135 masjid). Sedangkan Gorontalo dan Sulawesi Barat merupakan provinsi dengan jumlah masjid YAMP paling sedikit (masing-masing 4 masjid).

Sedangkan berdasarkan tipe masjid yang berhasil dibangun, diketahui bahwa jumlah terbanyak tipe 15 (495 masjid), disusul tipe 17 (375 masjid) dan tipe 19 (129 masjid).

Diketahui pula bahwa berdasarkan lokasi masjid yang berhasil dibangun, terbanyak berada dilingkungan perumahan/ tempat tinggal masyarakat umum (569 masjid), disusul lembaga pendidikan/ pondok pesantren (200 masjid), kompleks perkantoran/ perumahan pegawai anggota Korpri (159 masjid), kompleks perkantoran/ perumahan ABRI (61 masjid), dan pemukiman transmigrasi (10 masjid).

Sebagian besar lokasi pembangunan masjid merupakan wilayah yang belum begitu berkembang. Namun seiring dengan pekembangan wilayah, lokasi-lokasi masjid itu kini termasuk yang paling strategis diwilayahnya masing-masing.

Selain itu, pembangunan masjid YAMP juga dilakukan didaerah perbatasan dengan negara tetangga serta pulau-pulau terpencil. Sejumlah masjid yang tercatat dibangun di daerah-daerah yang sulit dijangkau itu yakni :

          1.  Masjid Perbatasan

YAMP membangun sejumlah masjid di wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga. Salah satunya ialah Masjid Nurul Hudud Badau, Kalimantan Barat. Berlokasi 1,5 kilometer dari perbatasan Indonesia dengan Malaysia yang masih sulit dijangkau. Untuk mencapai daerah tersebut, bahan-bahan bangunan ditarik dengan kuda dan sebagian lagi terpaksa didatangkan dari Malaysia.

2.   Masjid Pulau Terpencil

YAMP juga tetap berkomitmen untuk membangun masjid-masjid di wilayah-wilayah terpencil, utamanya di sejumlah pulau kecil yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa yang cukup penting, yaitu :

a. Masjid Pulau Panjang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.

b. Masjid Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua.

c. Masjid Pulau Peleng, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.

d. Masjid Pulau Sabu, Kabupaten Flores Tmur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

e. Masjid Pulau Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

f. Masjid Pulau Sanana, Kabupaten Maluku Utara, Provinsi Maluku Utara.

g. Masjid Pulau Serui, Kabupaten Yapen Waropen, Provinsi Papua.

Dalam pembangunan masjid di daerah terpencil, YAMP mengirimkan bahan-bahan bangunan dari ibukota provinsi maupun dari Jakarta. Sementara untuk wilayah seperti Wanena, material terpaksa diangkut dengan menggunakan pesawat Hercules TNI dari Jayapura.